Seorang mantan kepala militer pasukan Inggris mengatakan bahwa AS telah terlampau dini mendeklarasikan kemenangan atas pemerintahan Saddam Hussein.
Mantan deputi kepala staf pertahanan Inggris, Letnan Jenderal Anthony Pigott, pada hari Jumat lalu mengatakan bahwa AS terlalu bersuka cita dan merasa menang ketika patung Saddam Hussein dirobohkan pada bulan April 2003.
Marinir AS merobohkan patung mantan presiden Irak tersebut pda tahun 2003 silam dalam salah satu peristiwa yang paling dikenang dalam invasi pimpinan AS di Irak.
Pigott berkata, "Tidak ada yang memenangkan apapun ketika patung itu dirobohkan."
Pigott memberikan keterangan dalam sebuah proses penyelidikan terhadap masa-masa sebelum dan sesudah perang Irak. Perang tersebut menjadi perang yang amat tidak populer di Inggris karena telah menelan nyawa 179 orang prajurit Inggris serta memicu timbulnya unjuk rasa besar-besaran.
Pigott juga mengatakan bahwa Inggris memberikan komitmen untuk menerjunkan pasukan dalam jumlah besar ke Irak untuk membeli pengaruh AS.
Pigott menambahkan, hanya dengan memberikan peranan militer yang besar, Inggris mampu menunjukkan kepada AS bahwa pihaknya adalah "pemain serius."
Setelah Tony Blair bertemu dengan George W. Bush di Texas pada bulan April 2002, Pigott mengatakan bahwa dirnya membentuk tim kecil yang bertujuan untuk menelaah opsi tindakan militer terhadap Irak.
Dia mengatakan bahwa awalnya, fokus utama invasi ke Irak adalah untuk membuat Saddam Hussein menyerahkan "senjata pemusnah massal", bukannya melakukan perubahan rezim di Baghdad.
Namun, ia mengatakan bahwa dalam hal aksi militer, Inggris ingin memainkan peranan besar dalam operasi tersebut.
Pigott mengatakan, kesiapan untuk menerjunkan pasukan dalam jumlah signifikan dalam operasi tersebut akan semakin memperkuat posisi Inggris bersama dengan militer AS. "Dengan kontribusi tersebut, Anda bukan hanya bersedia untuk terjun langsung, namun juga menempatkan orang-orang dalam bahaya," katanya.
Para komandan militer AS menyambut tawaran Inggris tersebut dengan perasaan lega. "Mereka ingin membangun koalisi, dan (koalisi) multinasional adalah hal yang baik," kata Pigott.
Namun, Lord Boyce, yang kala itu menjabat sebagai kepala staf pertahanan, memperjelas bahwa Inggris hanya memiliki pengaruh kecil terhadap kebijakan AS, khususnya mengenai apa yang akan dilakukan setelah invasi.
"Saya selalu merasa khawatir mengenai sifat dasar kontribusi AS setelah melakukan invasi," katanya pada hari Kamis lalu.
Hans Blix, yang memimpin tim inspeksi senjata PBB terhadap invasi tahun 2003 lalu, mengatakan kepada Daily Mail bahwa ketika itu, para pemimpin AS dan Inggris telah menyesatkan diri mereka sendiri dan juga menyesatkan publik mengenai alasan utama dimulainya konflik tersebut.
"Keberadaan senjata pemusnah massal" dijadikan sebagai alasan utama untuk mengumandangkan perang yang dipelopori AS tersebut, meski tidak mendapatkan persetujuan dari PBB. Hal itu terbukti ketika beberapa waktu kemudian, tim yang dipimpin oleh Blix tidak menemukan apapun yang dapat dijadikan alasan melakukan invasi ke Irak, tidak ada "senjata pemusnah massal" yang ditemukan.
"Mereka seolah yakin bahwa mereka tengah menghadapi tukang sihir, mereka kemudian mencari dan langsung meyakini "bukti", tanpa melakukan pemeriksaan lebih lanjut," kata pria berusia 81 tahun tersebut kepada Daily Mail.
Blix mengatakan bahwa dirinya sebenarnya telah memperingatkan Blair untuk tidak melakukan invasi, ia kala itu mengatakan: "Akan menjadi sebuah hal yang aneh dan penuh pertemtangan jika 250.000 orang pasukan menginvasi Irak dan hanya mendapatkan sedikit penemuan."
Dia menambahkan, jika saja Inggris berkomitmen untuk mendapatkan persetujuan PBB dalam bentuk resolusi Dewan Keamanan untuk mendukung perang tersebut, maka mereka dapat memperlambat proses penggalangan kekuatan militer, namun ternyata bukan itu yang terjadi."
0 komentar:
Posting Komentar