MASJID Terboyo menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Semarang zaman dulu. Tempat ibadah yang dibangun pada 1759 masehi ini berada di Kelurahan Tambakrejo RT 01/RW 01, Gayamsari.
Masjid Terboyo diambil dari nama kampung masjid ketika itu yakni, Terboyo. Konon, Terboyo sendiri memiliki sejarah dengan pendiri masjid tersebut yakni Kanjeng Kyai Surohadimenggolo. "Katanya, beliau kalau kemana-mana diter boyo (diantar oleh buaya). Jadi daerah sini dinamai Terboyo,'' kata ustadz Imam Sya'roni, ketua takmir Masjid Terboyo.
Masjid yang berdiri di atas tanah seluas 5.766 m2 itu pertama kali dipugar pada tahun 1821. Tanah tempat tersebut merupakan wakaf dari pendiri masjid. Setelah wafat pada 1834, pendiri masjid yang merupakan Bupati ke-23 Semarang itu kini dimakamkan di belakang masjid tersebut.
Karena kondisi alam, yakni sering kebanjiran kalau musim hujan, masjid kembali dipugar secara besar-besaran pada 2008. Lantai masjid ditinggikan tiga meter. Peninggian tersebut mula-mula diakukan dengan sebuah crane, setelah sebelumnya genteng dilepas.
"Namun mungkin karena posisi crane dengan masjid sudutnya tidak begitu tepat, pengangkatan kerangka masjid tidak berhasil. Akhirnya peninggian dilakukan menggunakan empat dongkrak yang diletakkan di setiap sudut masjid. Butuh waktu lama untuk menyelesaikan itu," kata Sya'roni.
Setelah pengangkatan berhasil, tempat ibadah itu terus direnovasi hingga sekarang. Biaya yang telah dikeluarkan, menurut Sya'roni sudah lebih dari Rp 1 miliar. Pemugaran yang masih dalam proses pengerjaan adalah pembuatan kolam, pembangunan kantor takmir masjid, dan finishing.
Masih Kurang
Modal proyek pemugaran masjid ini awalnya hanya Rp 50 juta hibah dari Gubernur Ali Mufiz. Tentu saja, dana tersebut masih jauh dari cukup. Kekurangan itu ditutup oleh sejumlah donatur yang memberikan bantuan, baik uang ataupun bahan bangunan. "Untuk membangun kolam, kantor takmir, dan finishing kami masih membutuhkan dana lebih kurang Rp 250 juta," ujarnya.
Di kompleks masjid itu sekarang berdiri TK, SD, SMP, SMA, dan pesantren Al Fattah. Kebanyakan siswa sekolah berasal dari masyarakat sekitar masjid, sementara untuk pondok pesantren kebanyakn dihuni oleh mahasiswa yang kuliah di Semarang.
Salah satu cerita unik yang didengar Sya'roni adalah konon pada tahun 70-an, bila ada orang tidur di masjid tapi belum shalat isya, orang itu paginya akan berada di pinggir kolam. "Ya itu hanya cerita. Sekarang sudah jarang orang tidur di masjid. Santri pun kalau tidur di pondok," katanya.
Di Bulan Ramadan ini, pengurus masjid rutin menggelar pengajian. Di antaranya mengaji kitab Ihya' Ulumuddin juz 1, Tanbihul Ghafilin, dan Riyadhus Shalihin yang digelar usai shalat subuh, asar, dan Tarawih.
0 komentar:
Posting Komentar