Akulturasi Jawa Eropa di Masjid Agung Payaman

| | 0 komentar

KONTRAS, mungkin demikian yang terpikir KH Hasyim Asy'ari (alm) saat berkunjung ke Masjid Agung Payaman di Kabupaten Magelang. Tak lain karena kondisi bangunan masjid yang begitu megah, dibanding tampilan rumah penduduk sekitar yang masih beratapkan rumbia.
Saat itu tahun 1938, berlangsung Muktamar NU ke 6 di Thai Tong (sekarang Hotel Sumber Waras) Magelang. Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) itu tak sekedar berkunjung ke Masjid Payaman, melainkan juga ingin bertemu KH Sirodj bin Abdul Rosyid, kiai tersohor di wilayah ini. Keturunan KH Sirodj, KH Huda menuturkan cerita ini, awal Agustus 2010.
Bangunan Masjid Agung Payaman memang tak biasa seperti corak bangunan serupa di tanah Jawa. Tampak menonjol sebagai ciri khas masjid ini, ada perpaduan Mustaka Jawa dengan dua atap berbentuk kerucut layaknya sebuah puri bergaya Eropa. Hal itu tak lain karena dirancang seorang arsitek Belanda, Van Misch namanya.

Keberadaan masjid yang terletak di Kampung Kauman, Desa Payaman, Kecamatan Secang ini tak dapat lepas dari peran besar Kiai Sirodj. Hubungan baik antara Bupati Magelang kala itu, Danoe Soegondo, dengan Kiai Sirodj melatarbelakangi berdirinya masjid. Kiai Sirodj mengusulkan juga pembangunan Masjid Agung Magelang di kompleks alun-alun Kota Magelang.
Seperti disebutkan dalam buku kumpulan dokumentasi keluaraga Kiai Sirodj, dua masjid itu dibangun dari kas pemerintah Belanda. Sehingga boleh dikata, hubungan Kiai Sirodj dengan pemerintah Belanda awalnya baik. Bahkan, Kiai Sirodj mendapat gelar Romo Agung dari kolonial.
Masjid Agung Payaman sebenarnya memiliki dua bagian bangunan dengan periode berbeda. Bangunan utama dengan luas sekitar 200 meter persegi, belum terlacak waktu pengerjaannya. "Sampai sekarang nggak ada yang bisa melacak tahun pembuatan bangunan periode pertama," kata Kiai Huda saat ditemui di kediamannya, sekitar 100 meter dari masjid.
Pembangunan kemudian melibatkan arsitek Belanda seperti dijelaskan sebelumnya, tahun 1937. Yakni berupa perluasan masjid, seperti serambi, dan pembangunan di bagian atap atau kubah. Bedug juga kentongan bercat cokelat tua yang dibuat pada tahun ini, tampak baik kondisinya. Pada bedug terdapat keterangan tahun 1937, sedangkan pada kentongan terukir tulisan "dibuat: 15 Maret 1937".
Basis Perjuangan
Masjid ini memiliki nilai historis yang tak kalah menariknya dengan masjid-masjid kuno lain. Menjadi basis pengusiran serdadu kompeni di Ambarawa, para anggota Laskar Hizbullah menyusun strategi pergerakannya di sini. Masjid ini tak luput dari serangan kolonial Belanda di tahun 1948, bertepatan dengan pengajian pada hari Selasa.
Pesawat fokker dengan baling-baling berwarna merah memuntahkan pelurunya. Sejumlah rumah serta pepohonan rusak, demikian juga dengan bangunan masjid. Beruntung, tak ada korban jiwa dan hanya bagian atap masjid saja yang rusak tertembus peluru kaliber 12,7, sebagaimana disebutkan dalam buku keluarga Kiai Sirodj.
Kini, kepengurusan Masjid Agung Payaman telah sampai pada generasi ke-empat, generasi Kiai Huda. Sampai generasi ini, renovasi belum pernah dilakukan, mengingat kondisi bangunan yang masih baik. "Kecuali penambahan tempat wudlu dan kolam," imbuh Kiai Huda. Untuk pengelolaannya, masyarakat sekitar pun dilibatkan. Hal demikian mulai diberlakukan sejak kepengurusan pada generasi ke-dua.
Lahir pada tahun 1878, Kiai Sirodj berpulang pada 29 Agustus 1959. Ia mewariskan kurikulum pengajaran jamaah masjid berupa pengajian setiap Senin, Sabtu, juga pesantren Ramadan.

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Blog Sahabat

Recent Comment

© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com