Berlarut-larutnya penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo, kata Aburizal Bakrie karena pemerintah takut dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Ical, pemerintah takut mengeluarkan uang yang nilainya cukup besar untuk korban Lapindo.
“Pemerintah takut ditangkap KPK karena mengeluarkan uang yang jumlahnya sangat banyak. Untuk membayar ganti rugi korban lumpur Lapindo, setidaknya pemerintah harus membayar 10-20 kali lipat dari nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah milik warga. Ini yang ditakutkan dengan KPK,” kata Aburizal Bakrie saat memberikan serial kuliah tamu di Universitas Airlangga Surabaya, Rabu (27/4).
“Pemerintah takut ditangkap KPK karena mengeluarkan uang yang jumlahnya sangat banyak. Untuk membayar ganti rugi korban lumpur Lapindo, setidaknya pemerintah harus membayar 10-20 kali lipat dari nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah milik warga. Ini yang ditakutkan dengan KPK,” kata Aburizal Bakrie saat memberikan serial kuliah tamu di Universitas Airlangga Surabaya, Rabu (27/4).
Untuk menyelesaikan masalah itu, kata Bakrie, publik diminta ikut meyakinkan KPK jika dana yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk korban lumpur Lapindo tidak menyalahi prosedur.
Menurut Bakrie kasus Lapindo sudah menjadi komoditi politik bagi lawan politiknya. Karena di setiap forum pasti disinggung soal Lapindo. Padahal dari sisi tanggungjawab keluarga Bakrie, menurut Ical sudah hampir tuntas.
Saat ini keluarga Bakrie masih mempunyai tanggungan untuk membayar ganti rugi kepada korban lumpur sebesar Rp1, 1 triliun. Rencananya pada tahun ini keluarga Bakrie akan membayarkan ganti rugi sebesar Rp400 miliar, sedangkan sisanya Rp700 miliar akan dibayarkan di pada 2012.
“Sehingga diharapkan pada tahun 2012, soal ganti rugi lumpur sudah selesai,” ujar Bakrie.
Sedangkan jika dilihat secara hukum dan apa yang sudah dilakukan oleh keluarga Bakrie sebenarnya tidak ada yang salah. Mahkamah Agung telah menetapkan kasus lumpur Lapindo bukan karena kesalahan Lapindo melainkan karena bencana alam.
Namun demikian meski secara hukum telah dinyatakan bahwa Lapindo dinyatakan tidak bersalah, keluarga Bakrie tetap mau bertanggungjawab. Mendiang ibunda Bakrie berpesan kepadanya agar tetap membantu korban lumpur meski Bakrie tidak salah.
“Beliau mengamanatkan agar tetap membantu korban lumpur. Salah atau tidak salah. Saya jalankan itu karena saya percaya surga ada di telapak kaki ibu,” ujar Bakrie.
Bakrie pun kemudian hingga saat ini sudah mengeluarkan uang dari kantong pribadinya sebesar Rp8 triliun untuk membayar ganti rugi kepada warga. Bakrie harus mengeluarkan uang dari kantong pribadi. Karena jika Lapindo Brantas sendiri yang bayar sebenarnya hanya mampu memberikan ganti rugi Rp100 miliar.
“Berdasarkan hukum perseroan terbatas, saham Bakrie bukan dominan di Lapindo. Maka sebenarnya tanggungjawabnya hanya sebesar saham yang dimiliki kemudian dinyatakan pailit. Namun kami tidak hanya melakukan itu. Kami mengeluarkan uang dari kantong pribadi,” ujar Bakrie.
Ganti rugi yang diberikan Bakrie kepada korban lumpur pun menurut Bakrie sudah sangat layak. Karena Bakrie membeli tanah korban lumpur lebih tinggi dari harga pasar. Bakrie membeli tanah korban lumpur antara 10-20 kali Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). “Dari ganti rugi itu ada korban lumpur yang sampai menerima uang Rp65 miliar. Sedangkan rata-rata mereka menerima Rp2 miliar,” ujar Bakrie.
Kata Bakrie saat ini sudah ada 11.923-an kepala keluarga yang sudah mau menerima skema penyelesaian ganti rugi yang ditawarkan oleh Bakrie. Sedangkan sisanya sekira 700 kepala keluarga masih menolak. “Apakah kami harus menunggu yang kecil itu,” tanyanya.
Suara Warga
Keputusan pemerintah menalangi pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo tidak sertamerta menyelesaikan persoalan. Masih ada ribuan warga yang hingga kini sama sekali belum mendapatkan ganti rugi.
Ribuan warga dari 45 rukun tetangga (RT) belum masuk skema pembayaran ganti rugi, baik oleh pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang ditunjuk PT Lapindo Brantas untuk membayar ganti rugi korban lumpur.
Ribuan warga ini mengaku kecewa atas hasil rapat terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Senin lalu, karena tidak memasukkan mereka ke dalam pihak yang harus dibayar.
“Presiden seharusnya memasukkan semua kawasan yang tidak layak huni dalam peta terdampak dan ganti ruginya dibayar oleh pemerintah. Bukan hanya menalangi pembayaran ganti rugi yang ditanggung oleh pemerintah,”ujar Usman, warga Desa Mindi, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Selama ini para warga 45 RT sudah berjuang agar bisa dimasukkan peta terdampak lumpur.
Ketika Presiden SBY menggelar rapat dengan sejumlah menteri dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, warga sudah berharap mereka dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur Lapindo. Kenyataannya warga harus menelan pil pahit. Hasil rapat terbatas yang dipimpin Presiden SBY tetap mengabaikan mereka.
Seperti diketahui, pemerintah siap menalangi kekurangan pembayaran ganti rugi korban luapan lumpur Lapindo. Jumlah ganti rugi yang ditalangi mencapai Rp1,104 triliun.
Menurut Gubernur Soekarwo, langkah ini diambil karena korban Lapindo terus mendesak pemerintah untuk segera melunasi kekurangan pembayaran. Di sisi lain, PT Minarak tidak sanggup membayar. Hal senada diungkapkan Agus Sunardi, Ketua RT 2 RW 1, Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo.
“Kalau pemerintah adil, harusnya menampung aspirasi warga korban lumpur yang lain,” kata Agus.
Warga korban lumpur Lapindo dari 45 rukun tetangga (RT), mengancam akan melakukan aksi besar-besaran jika rumah mereka tidak segera dimasukkan dalam peta terdampak.
”Mohon maaf kepada pengguna Jalan Raya Porong, jika dalam 1-2 minggu ke depan kemungkinan kami akan menutup Jalan Raya Porong dan rel kereta sebagai bentuk protes kami,” kata Rosykhul Ali, koordinator dari Desa Besuki.
Rosykhul mengaku keputusan tersebut sudah bisa ditebak. Dia mengkhawatirkan keputusan ini akan memicu konflik horizontal.
Untuk mencegah konflik, Rosykhul menyarankan agar pemerintah menggabungkan pembayaran ganti rugi untuk warga di sembilan RT dengan 45 RT lainnya.
Pada Selasa kemarin, sembilan perwakilan dari 45 RT yang meliputi Desa Mindi, Pamotan, Besuki, dan Ketapang, sudah merencanakan untuk bertemu Gubernur Jatim Soekarwo. Kedatangan mereka untuk minta penjelasan soal hasil rapat kabinet tersebut.
Namun keinginan warga tidak bisa terwujud karena Soekarwo sedang berada di Pasuruan. Rombongan hanya diterima Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf. Sayangnya, Syaifullah Yusuf tidak bisa memberikan keterangan banyak karena yang mengikuti rapat kabinet adalah Soekarwo.
Menurut Bakrie kasus Lapindo sudah menjadi komoditi politik bagi lawan politiknya. Karena di setiap forum pasti disinggung soal Lapindo. Padahal dari sisi tanggungjawab keluarga Bakrie, menurut Ical sudah hampir tuntas.
Saat ini keluarga Bakrie masih mempunyai tanggungan untuk membayar ganti rugi kepada korban lumpur sebesar Rp1, 1 triliun. Rencananya pada tahun ini keluarga Bakrie akan membayarkan ganti rugi sebesar Rp400 miliar, sedangkan sisanya Rp700 miliar akan dibayarkan di pada 2012.
“Sehingga diharapkan pada tahun 2012, soal ganti rugi lumpur sudah selesai,” ujar Bakrie.
Sedangkan jika dilihat secara hukum dan apa yang sudah dilakukan oleh keluarga Bakrie sebenarnya tidak ada yang salah. Mahkamah Agung telah menetapkan kasus lumpur Lapindo bukan karena kesalahan Lapindo melainkan karena bencana alam.
Namun demikian meski secara hukum telah dinyatakan bahwa Lapindo dinyatakan tidak bersalah, keluarga Bakrie tetap mau bertanggungjawab. Mendiang ibunda Bakrie berpesan kepadanya agar tetap membantu korban lumpur meski Bakrie tidak salah.
“Beliau mengamanatkan agar tetap membantu korban lumpur. Salah atau tidak salah. Saya jalankan itu karena saya percaya surga ada di telapak kaki ibu,” ujar Bakrie.
Bakrie pun kemudian hingga saat ini sudah mengeluarkan uang dari kantong pribadinya sebesar Rp8 triliun untuk membayar ganti rugi kepada warga. Bakrie harus mengeluarkan uang dari kantong pribadi. Karena jika Lapindo Brantas sendiri yang bayar sebenarnya hanya mampu memberikan ganti rugi Rp100 miliar.
“Berdasarkan hukum perseroan terbatas, saham Bakrie bukan dominan di Lapindo. Maka sebenarnya tanggungjawabnya hanya sebesar saham yang dimiliki kemudian dinyatakan pailit. Namun kami tidak hanya melakukan itu. Kami mengeluarkan uang dari kantong pribadi,” ujar Bakrie.
Ganti rugi yang diberikan Bakrie kepada korban lumpur pun menurut Bakrie sudah sangat layak. Karena Bakrie membeli tanah korban lumpur lebih tinggi dari harga pasar. Bakrie membeli tanah korban lumpur antara 10-20 kali Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). “Dari ganti rugi itu ada korban lumpur yang sampai menerima uang Rp65 miliar. Sedangkan rata-rata mereka menerima Rp2 miliar,” ujar Bakrie.
Kata Bakrie saat ini sudah ada 11.923-an kepala keluarga yang sudah mau menerima skema penyelesaian ganti rugi yang ditawarkan oleh Bakrie. Sedangkan sisanya sekira 700 kepala keluarga masih menolak. “Apakah kami harus menunggu yang kecil itu,” tanyanya.
Suara Warga
Keputusan pemerintah menalangi pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo tidak sertamerta menyelesaikan persoalan. Masih ada ribuan warga yang hingga kini sama sekali belum mendapatkan ganti rugi.
Ribuan warga dari 45 rukun tetangga (RT) belum masuk skema pembayaran ganti rugi, baik oleh pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang ditunjuk PT Lapindo Brantas untuk membayar ganti rugi korban lumpur.
Ribuan warga ini mengaku kecewa atas hasil rapat terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Senin lalu, karena tidak memasukkan mereka ke dalam pihak yang harus dibayar.
“Presiden seharusnya memasukkan semua kawasan yang tidak layak huni dalam peta terdampak dan ganti ruginya dibayar oleh pemerintah. Bukan hanya menalangi pembayaran ganti rugi yang ditanggung oleh pemerintah,”ujar Usman, warga Desa Mindi, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Selama ini para warga 45 RT sudah berjuang agar bisa dimasukkan peta terdampak lumpur.
Ketika Presiden SBY menggelar rapat dengan sejumlah menteri dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, warga sudah berharap mereka dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur Lapindo. Kenyataannya warga harus menelan pil pahit. Hasil rapat terbatas yang dipimpin Presiden SBY tetap mengabaikan mereka.
Seperti diketahui, pemerintah siap menalangi kekurangan pembayaran ganti rugi korban luapan lumpur Lapindo. Jumlah ganti rugi yang ditalangi mencapai Rp1,104 triliun.
Menurut Gubernur Soekarwo, langkah ini diambil karena korban Lapindo terus mendesak pemerintah untuk segera melunasi kekurangan pembayaran. Di sisi lain, PT Minarak tidak sanggup membayar. Hal senada diungkapkan Agus Sunardi, Ketua RT 2 RW 1, Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo.
“Kalau pemerintah adil, harusnya menampung aspirasi warga korban lumpur yang lain,” kata Agus.
Warga korban lumpur Lapindo dari 45 rukun tetangga (RT), mengancam akan melakukan aksi besar-besaran jika rumah mereka tidak segera dimasukkan dalam peta terdampak.
”Mohon maaf kepada pengguna Jalan Raya Porong, jika dalam 1-2 minggu ke depan kemungkinan kami akan menutup Jalan Raya Porong dan rel kereta sebagai bentuk protes kami,” kata Rosykhul Ali, koordinator dari Desa Besuki.
Rosykhul mengaku keputusan tersebut sudah bisa ditebak. Dia mengkhawatirkan keputusan ini akan memicu konflik horizontal.
Untuk mencegah konflik, Rosykhul menyarankan agar pemerintah menggabungkan pembayaran ganti rugi untuk warga di sembilan RT dengan 45 RT lainnya.
Pada Selasa kemarin, sembilan perwakilan dari 45 RT yang meliputi Desa Mindi, Pamotan, Besuki, dan Ketapang, sudah merencanakan untuk bertemu Gubernur Jatim Soekarwo. Kedatangan mereka untuk minta penjelasan soal hasil rapat kabinet tersebut.
Namun keinginan warga tidak bisa terwujud karena Soekarwo sedang berada di Pasuruan. Rombongan hanya diterima Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf. Sayangnya, Syaifullah Yusuf tidak bisa memberikan keterangan banyak karena yang mengikuti rapat kabinet adalah Soekarwo.
0 komentar:
Posting Komentar